CirebonShare.com – Cirebon, 16 Juli 2025 – Kebijakan pendidikan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi atau KDM, menuai sorotan setelah fakta mencengangkan muncul dari SMK Rise Kota Cirebon. Pada tahun ajaran 2025/2026, sekolah ini hanya menerima satu siswa baru. Kondisi tersebut secara nyata menunjukkan dampak kebijakan KDM terhadap sekolah swasta di daerah.
Remaja bernama Rafa Mahardika menjadi satu-satunya siswa baru di sekolah itu. Ia berasal dari Desa Kondangsari, Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon. Setiap hari, ayahnya mengantar dan menjemput Rafa dari rumah ke sekolah. Mereka menempuh jarak sekitar 30 menit melalui jalur alternatif.
Fenomena Satu Siswa Baru di SMK Rise
Rafa memutuskan mendaftar ke SMK Rise karena alasan yang kuat. Ia ingin mengejar impian besarnya. Cita-citanya adalah bekerja sebagai perawat lansia di Jepang atau yang biasa disebut Kaigo. Untuk mewujudkan itu, ia membutuhkan pendidikan kejuruan yang mendukung.
“Saya ingin jadi perawat lansia dan kerja di Jepang,” ujar Rafa penuh keyakinan.
Meski menjadi satu-satunya siswa baru, Rafa tetap mengikuti kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Guru-guru menyambutnya dengan antusias. Kepala sekolah mendampinginya langsung pada hari pertama. Rafa tetap terlihat tenang meskipun ia tidak memiliki teman seangkatan.
Bersosialisasi dengan Kakak Kelas
Rafa tidak merasa canggung saat mengikuti MPLS tanpa rekan baru. Siswa kelas XI dan XII menyambutnya dengan ramah. Ia membaur dalam aktivitas pengenalan lingkungan sekolah yang dipandu oleh dua guru. Kepala Sekolah Mohamad Jihad Faturrahman turut terlibat langsung dalam kegiatan itu.
“Kami tetap melaksanakan MPLS sesuai standar. Meskipun hanya satu siswa, kami menjaga kualitas kegiatan,” jelas Jihad.
Guru-guru SMK Rise memastikan Rafa tetap memperoleh pengalaman awal yang menyenangkan. Mereka mengajak Rafa mengenal ruang kelas, fasilitas sekolah, serta budaya belajar di lingkungan tersebut.
Alasan Memilih SMK Rise
Rafa memilih SMK Rise karena mendapat saran dari kerabatnya. Saudaranya merupakan bagian dari yayasan yang mengelola sekolah ini. Selain itu, jurusan di SMK Rise sejalan dengan cita-cita Rafa sebagai perawat lansia.
“Saya juga lulusan kejar paket, dan sekolah ini memberi kesempatan,” kata Rafa.
Ia mempertimbangkan keputusannya dengan matang. Walaupun sekolah negeri terlihat lebih ramai, Rafa melihat potensi dan kualitas pendidikan yang ditawarkan oleh SMK Rise.
Dampak Kebijakan KDM: Rombel Diperbesar, Sekolah Swasta Terdesak
Kepala Sekolah SMK Rise menyampaikan bahwa kebijakan Gubernur KDM yang memperbesar jumlah siswa dalam satu rombongan belajar (rombel) sekolah negeri telah menciptakan dampak besar. Dengan jumlah maksimal 50 siswa per rombel, calon siswa yang seharusnya memilih sekolah swasta akhirnya menunggu hasil seleksi sekolah negeri.
“Banyak orangtua menarik kembali berkas dari sekolah kami karena merasa peluang diterima di sekolah negeri lebih besar,” ungkap Jihad.
Perubahan jumlah rombel yang sangat besar menimbulkan efek domino. Sekolah swasta kehilangan pendaftar, meskipun mereka telah menyatakan kesiapan sejak awal.
Orangtua Lebih Memilih Sekolah Negeri
Penambahan kuota siswa di sekolah negeri mendorong banyak orangtua beralih pilihan. Mereka menganggap biaya pendidikan di sekolah negeri jauh lebih ringan. Bahkan, beberapa sekolah negeri tidak membebankan uang bangunan, uang seragam, atau iuran bulanan sama sekali.
“Sekolah negeri sekarang dianggap gratis. Maka wajar jika mereka menjadi pilihan utama,” tambah Jihad.
Sebaliknya, sekolah swasta seperti SMK Rise tetap harus memikirkan biaya operasional. Walau pihak sekolah sudah menekan biaya sedapat mungkin, mereka tetap membutuhkan dana untuk listrik, gaji guru, dan peralatan praktik.
Kebijakan yang Melemahkan Sekolah Swasta
Jihad menjelaskan bahwa SMK Rise bukan satu-satunya sekolah swasta yang terkena dampak kebijakan ini. Beberapa lembaga pendidikan di Cirebon dan sekitarnya juga mengalami penurunan jumlah siswa baru secara drastis. Bahkan, sejumlah sekolah memutuskan menutup kelas karena tidak mendapatkan pendaftar.
“Tanpa siswa baru, kami tidak bisa melanjutkan operasional. Tidak ada murid berarti tidak ada kegiatan belajar,” tegas Jihad.
Sekolah swasta mengandalkan jumlah peserta didik sebagai sumber pendanaan utama. Karena tidak memperoleh subsidi dari pemerintah, mereka bergantung pada biaya pendidikan dari siswa. Kebijakan yang tidak memperhatikan keberadaan sekolah swasta justru berisiko mematikan peran mereka dalam sistem pendidikan nasional.
Biaya Masuk dan Pertimbangan Ekonomi
SMK Rise sebelumnya dikenal sebagai sekolah yang tidak memberatkan biaya pendaftaran. Namun tahun ini, mereka mulai mengenakan uang masuk. Kondisi itu membuat sejumlah orangtua mempertimbangkan ulang untuk mendaftarkan anak mereka.
“Tahun ini kami memang menetapkan uang masuk, tapi nominalnya tetap jauh di bawah sekolah swasta lainnya. Kami pun masih terus mengevaluasi,” ujar Jihad.
Jihad menyatakan bahwa pihak sekolah memutuskan kebijakan tersebut agar proses pembelajaran tetap berjalan. Di sisi lain, mereka tetap membuka kemungkinan memberikan keringanan biaya bagi calon siswa yang mengalami kendala ekonomi.
Sekolah Masih Membuka Pendaftaran
Sampai pertengahan Juli 2025, SMK Rise masih membuka pendaftaran siswa baru. Jihad menyebutkan bahwa sekolah tetap menerima siswa hingga akhir semester pertama. Ia berharap akan ada tambahan siswa agar Rafa tidak belajar sendiri dalam angkatan 2025.
“Kami tetap terbuka. Semoga ada pendaftar tambahan, meski hanya satu atau dua orang,” ujar Jihad.
Jika hingga akhir semester tak ada siswa tambahan, sekolah kemungkinan memindahkan Rafa ke cabang SMK Rise di Kedawung. Dewan sekolah akan membahas opsi tersebut dalam rapat internal.
Sekolah Swasta Perlu Perlindungan Pemerintah
Kondisi seperti yang dialami SMK Rise mendorong banyak pihak meminta perhatian dari pemerintah. Sekolah swasta tidak bisa terus menghadapi tekanan tanpa dukungan. Dalam ekosistem pendidikan, mereka memiliki peran penting yang tidak bisa diabaikan.
Beberapa solusi yang banyak diusulkan antara lain:
- Pemerintah memberikan subsidi operasional untuk sekolah swasta kecil
- Pemerintah menetapkan batas kuota siswa di sekolah negeri agar distribusi lebih adil
- Pemberian insentif bagi sekolah yang menerima siswa dari keluarga tidak mampu
- Penguatan kerja sama antara sekolah negeri dan swasta dalam pengajaran
Kisah Rafa, Simbol Semangat Belajar
Rafa Mahardika menunjukkan keteguhan sikap dalam menuntut ilmu. Ia tetap berangkat sekolah setiap hari, mengikuti MPLS, dan menjalani proses belajar seperti siswa lainnya. Meski tidak memiliki teman seangkatan, semangatnya tetap menyala.
Guru-guru SMK Rise menyampaikan kebanggaannya atas semangat Rafa. Mereka menyebut Rafa sebagai simbol bahwa semangat belajar bisa tumbuh dari lingkungan mana pun.
“Semangat Rafa luar biasa. Kami akan mendukung penuh apa pun yang dia butuhkan,” ucap salah satu guru.
Kebijakan Pendidikan Harus Berkeadilan
Pemerintah memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan antara sekolah negeri dan swasta. Kebijakan pendidikan tidak boleh memihak satu pihak dan mengabaikan pihak lainnya. Semua lembaga pendidikan perlu memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang.
Jika sekolah swasta terus terpinggirkan, sistem pendidikan akan kehilangan keseimbangannya. Anak-anak dari keluarga menengah ke bawah akan kehilangan pilihan. Guru-guru kehilangan pekerjaan. Sekolah yang sudah lama berdiri bisa terpaksa tutup dalam satu periode kepemimpinan.
Penutup: Saatnya Mendengar Suara Sekolah Swasta
Dampak kebijakan KDM sudah tampak di lapangan. Kasus SMK Rise menjadi bukti bahwa kebijakan tersebut memberi efek langsung pada sekolah swasta. Pemerintah perlu segera mengevaluasi dampaknya agar tidak menghancurkan ekosistem pendidikan yang sudah terbentuk selama puluhan tahun.
Sekolah swasta bukanlah saingan. Mereka mitra dalam mencerdaskan generasi muda. Karena itu, eksistensi mereka perlu dijaga dan dilindungi.
BACA JUGA : Krisis Siswa Baru Ancam SMK Swasta di Cirebon
BACA JUGA : MPLS 2025 Dimulai, TNI/Polri Turut Dampingi Siswa Baru


















