CirebonShare.com – Jakarta, 2 Oktober 2025 – ID wartawan dicabut di Istana memicu perbincangan hangat setelah insiden yang melibatkan seorang jurnalis dalam agenda resmi kepresidenan. Peristiwa ini menyalakan polemik publik karena masyarakat menyoroti bagaimana pemerintah memperlakukan insan pers yang sedang menjalankan tugas jurnalistik.
Kronologi Pencabutan ID Wartawan di Istana
Seorang wartawan mengajukan pertanyaan kepada Presiden setelah agenda resmi kenegaraan di Istana Kepresidenan. Pertanyaan itu menyinggung program makan bergizi gratis (MBG) yang saat ini ramai dibahas masyarakat. Tidak lama kemudian, pihak administrasi memberi tahu wartawan tersebut bahwa mereka mencabut kartu identitas peliputannya di Istana.
Akibat dari keputusan itu, muncul tanda tanya besar di kalangan publik. Kartu ID liputan di Istana menjadi akses utama bagi jurnalis untuk bekerja di lingkungan kepresidenan. Dengan demikian, ketika pihak administrasi mencabut ID itu, mereka justru membatasi ruang gerak jurnalis dalam mencari dan menyampaikan informasi.
Reaksi dan Tanggapan Publik
Kabar pencabutan ID wartawan segera menyebar di berbagai kanal komunikasi. Publik mengkritik langkah tersebut karena mereka menilai tindakan itu bisa mengancam kebebasan pers. Selain itu, banyak pihak juga menekankan bahwa pertanyaan wartawan dalam forum resmi termasuk bagian dari fungsi kontrol pers yang harus dihormati.
Sejumlah organisasi kewartawanan kemudian menyuarakan keprihatinan. Mereka menegaskan bahwa pers berhak bertanya, mengkritisi, dan menyampaikan isu yang sedang berkembang tanpa harus takut menghadapi sanksi administratif seperti pencabutan ID liputan.
Klarifikasi dari Pihak Istana
Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden akhirnya menanggapi polemik ini dengan klarifikasi resmi. Pihak Istana meminta maaf dan menjelaskan bahwa Presiden maupun institusi tidak pernah mengeluarkan kebijakan pencabutan ID wartawan. Mereka menekankan bahwa seorang oknum teknis administrasi di lapangan yang bertindak sendiri mencabut ID tersebut.
“Kami sudah mengembalikan ID wartawan yang sempat dicabut. Kami juga memastikan kejadian serupa tidak akan terulang lagi. Presiden menghargai kebebasan pers dan peran jurnalis dalam demokrasi,” tegas perwakilan Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden.
Perspektif Kebebasan Pers di Indonesia
Kasus pencabutan ID wartawan di Istana pada akhirnya membuka diskusi lebih luas mengenai kondisi kebebasan pers di Indonesia. Konstitusi melalui Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah menjamin kebebasan pers. Namun demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa jurnalis masih sering menghadapi tantangan.
Dewan Pers mencatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir masih banyak praktik yang menghambat kerja jurnalistik. Aparat maupun pihak tertentu terkadang mengintimidasi jurnalis, melarang peliputan, atau mencabut akses kerja. Oleh karena itu, pemangku kepentingan harus bekerja lebih serius menjaga ruang kebebasan pers tetap terbuka.
Pandangan Akademisi dan Praktisi
Beberapa akademisi komunikasi menilai bahwa insiden ini memberi pelajaran penting. Dr. Ratna Sari, dosen komunikasi politik di salah satu universitas negeri, menegaskan bahwa pihak administrasi seharusnya tidak merespons pertanyaan jurnalistik dengan mencabut ID wartawan.
“Pers berfungsi sebagai pengawas jalannya pemerintahan. Ketika wartawan menanyakan kebijakan publik, mereka tidak sedang berkonfrontasi, melainkan melaksanakan fungsi demokrasi. Dengan kata lain, reaksi administratif yang berlebihan justru merusak citra pemerintah,” jelas Ratna Sari.
Praktisi media senior, Andi Prasetyo, di sisi lain menambahkan bahwa pemerintah harus membangun komunikasi lebih terbuka dengan pers. Menurutnya, wartawan yang bertanya mewakili keresahan publik dan pemerintah sebaiknya menjawab dengan transparan, bukan membatasi akses.
Respon dari Organisasi Kewartawanan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga menyatakan bahwa pencabutan ID wartawan di Istana tidak tepat. Ketua AJI menekankan bahwa pemerintah seharusnya memberi ruang lebih besar kepada pers untuk menyampaikan pertanyaan, termasuk pertanyaan yang dianggap sensitif.
“Pers bekerja untuk publik. Jika pemerintah menganggap ada pertanyaan sulit, jawaban transparan akan jauh lebih baik ketimbang membatasi akses jurnalis. Karena itu, kami berharap pemerintah menjadikan kasus ini sebagai momentum evaluasi dan perbaikan,” kata perwakilan AJI.
Upaya Pencegahan Kasus Serupa
Setelah memberikan klarifikasi, pemerintah menyatakan komitmennya memperbaiki prosedur administrasi peliputan di Istana agar kasus serupa tidak terulang.
Beberapa langkah yang mereka rencanakan antara lain:
- Menetapkan standar operasional prosedur (SOP) yang lebih jelas untuk mengelola ID wartawan.
- Memberikan pelatihan kepada petugas administrasi agar memahami pentingnya kebebasan pers.
- Membuka saluran komunikasi antara redaksi media dan Biro Pers untuk menyelesaikan persoalan administratif tanpa menimbulkan polemik publik.
Dengan langkah-langkah tersebut, pemerintah berharap bisa mencegah kesalahpahaman di masa mendatang.
Refleksi dan Harapan ke Depan
Kasus ID wartawan yang dicabut di Istana sekali lagi menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah dan pers. Ketika pemerintah menjaga komunikasi sehat dengan pers, demokrasi akan semakin kuat dan kepercayaan publik ikut meningkat.
Publik berharap pemerintah benar-benar menjadikan insiden ini sebagai pelajaran berharga. Pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam setiap langkah yang berkaitan dengan kebebasan pers. Sementara itu, jurnalis juga harus menjaga profesionalisme ketika menyampaikan pertanyaan maupun laporan.
Kebebasan pers bukan hanya hak jurnalis, tetapi juga hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat, benar, dan bermanfaat. Pada akhirnya, dengan menjaga kebebasan pers, pemerintah dan media sekaligus menjaga kepentingan publik.
Kesimpulan
Polemik ID wartawan dicabut di Istana menunjukkan bahwa isu kebebasan pers masih relevan di Indonesia. Meski pihak Istana sudah meminta maaf dan mengembalikan ID tersebut, masyarakat tetap mencatat insiden ini sebagai hal penting.
Oleh karena itu, pemerintah dan pers harus bersama-sama melakukan evaluasi menyeluruh agar tidak ada lagi pembatasan ruang kerja jurnalis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan komitmen yang kuat, hubungan pemerintah dan pers bisa semakin harmonis, dan demokrasi Indonesia tumbuh lebih sehat.
BACA JUGA : Edarkan Obat Terlarang, Mahasiswa Ditangkap di Cirebon
BACA JUGA : Korupsi Pajak APBDes di Cirebon Rp2,9 Miliar

















