CirebonShare.com – Cirebon, 12 Agustus 2025 – Kenaikan PBB Kota Cirebon memicu kembali reaksi keras warga. Puluhan orang dari berbagai kelurahan bergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon. Mereka berkumpul di sebuah hotel di Jalan Raya Siliwangi, Selasa (12/8/2025), untuk memperkuat perjuangan menolak kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang mencapai 1.000 persen.
Pertemuan itu bukan sekadar diskusi. Warga memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyusun strategi, mempertegas tuntutan, dan mengajak lebih banyak orang ikut terlibat. Suasana serius tetapi tetap kondusif terlihat sejak awal acara dimulai. Semua peserta duduk melingkar, mendengarkan penjelasan para koordinator paguyuban, lalu menyampaikan pandangan masing-masing.
Latar Belakang Kenaikan PBB Kota Cirebon
Kenaikan PBB Kota Cirebon berlaku sejak awal 2024. Pemerintah Kota (Pemkot) menerapkannya setelah DPRD mengesahkan Perda Nomor 1 Tahun 2024. Peraturan ini mengubah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan tarif PBB-P2 (Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan).
Pejabat Pemkot beralasan kebijakan ini bertujuan menyesuaikan NJOP dengan harga pasar terbaru, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan mendukung pembiayaan pembangunan. Namun, warga merasa kebijakan tersebut terlalu drastis. Kenaikan yang mereka alami tidak hanya ratusan persen, tetapi di beberapa kasus mencapai sepuluh kali lipat.
Contoh nyata:
- Rumah yang sebelumnya dikenakan PBB Rp6,4 juta per tahun kini dikenakan Rp63 juta.
- Pemilik usaha kecil di kawasan pusat kota yang dulu membayar Rp4 juta kini harus membayar Rp20 juta.
Kondisi ini menimbulkan beban besar, terutama bagi masyarakat yang masih berjuang memulihkan ekonomi pascapandemi Covid-19.
Empat Tuntutan Utama Warga
Dalam pertemuan, Paguyuban Pelangi Cirebon merumuskan empat tuntutan jelas kepada Pemkot:
- Batalkan Perda Nomor 1 Tahun 2024. Warga meminta tarif PBB kembali seperti tahun 2023.
- Ganti pejabat terkait. Mereka ingin pejabat yang merancang dan memberlakukan tarif baru tanpa dialog terbuka diganti.
- Batas waktu satu bulan. Jika Pemkot tidak merespons dalam sebulan, mereka siap melakukan aksi unjuk rasa besar.
- Kurangi ketergantungan PAD pada pajak. Warga meminta Pemkot mencari pendapatan alternatif, meningkatkan efisiensi, dan menutup kebocoran anggaran.
Pernyataan Koordinator Paguyuban
Koordinator Paguyuban Pelangi, Hendrawan Rizal, berbicara lantang di hadapan peserta. Ia menjelaskan bahwa tuntutan ini lahir dari kenyataan di lapangan. Banyak warga merasa kewalahan membayar PBB baru.
“Kami sudah hitung, lonjakan ini tidak masuk akal. Dari Rp6,4 juta menjadi Rp63 juta. Kami ingin Wali Kota bertindak, apalagi kebijakan ini diwariskan dari pejabat sebelumnya,” tegasnya.
Hendrawan menambahkan, masyarakat tidak menolak membayar pajak. Mereka hanya ingin kebijakan yang adil dan realistis sesuai kemampuan.
Inspirasi dari Daerah Lain
Juru bicara paguyuban, Hetta Mahendrati Latu Meten, menyampaikan bahwa perjuangan warga Cirebon terinspirasi dari warga Kabupaten Pati. Di daerah tersebut, pemerintah daerah membatalkan kenaikan PBB sebesar 250 persen setelah mendapat protes warga.
“Di Pati, kenaikan 250 persen saja dibatalkan. Di sini, kita malah dinaikkan 1.000 persen. Perjuangan kita belum selesai,” ujarnya.
Hetta mengajak seluruh masyarakat Kota Cirebon bersatu. Menurutnya, suara bersama akan lebih kuat daripada perjuangan individu.
Kritik terhadap Persepsi Pemkot
Hetta menyoroti anggapan Pemkot yang menyebut hanya 1 persen warga terdampak kenaikan PBB. Ia menilai anggapan itu keliru. Semua warga terdampak, meskipun besarannya berbeda.
“Yang PBB-nya kecil memang bebannya tidak sebesar kami, tetapi tetap saja ada kenaikan. Jadi ini bukan masalah segelintir orang,” jelasnya.
Suara Lain dari Peserta
Surya Pranata, warga lain yang hadir, menilai kebijakan ini bertolak belakang dengan kondisi ekonomi masyarakat. Ia mengatakan banyak warga masih menata keuangan setelah pandemi.
“Kebijakan ini menambah beban. Kami minta Perda Nomor 1 Tahun 2024 dibatalkan,” katanya.
Dampak Ekonomi Kenaikan PBB
Kenaikan PBB Kota Cirebon menimbulkan dampak luas:
- Beban rumah tangga bertambah. Banyak keluarga harus mengurangi pengeluaran lain untuk membayar pajak.
- Pelaku usaha tertekan. Biaya operasional meningkat, sehingga keuntungan berkurang.
- Risiko penjualan aset. Sebagian warga mempertimbangkan menjual properti untuk melunasi pajak.
- Potensi tunggakan. Warga yang tidak mampu membayar tepat waktu akan menunggak, memicu sanksi administratif.
Ekonom lokal memperingatkan bahwa kebijakan pajak yang terlalu tinggi bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi daerah. Menurut mereka, pendapatan daerah bisa ditingkatkan tanpa memberatkan warga, misalnya dengan mengoptimalkan retribusi sektor jasa dan pariwisata.
Alternatif Pendapatan Daerah
Warga memberikan beberapa usulan untuk mengganti pendapatan dari kenaikan PBB:
- Maksimalkan retribusi parkir. Banyak titik parkir di Kota Cirebon berpotensi memberi pemasukan lebih jika dikelola transparan.
- Dorong investasi UMKM dan pariwisata. Kota Cirebon punya potensi wisata sejarah dan kuliner yang belum tergarap optimal.
- Efisiensi anggaran. Pemkot dapat menekan pengeluaran yang tidak mendesak.
- Cegah kebocoran anggaran. Pengawasan ketat dan transparansi menjadi kunci.
Respons Pemerintah
Saat berita ini ditulis, Pemkot Cirebon belum memberi pernyataan resmi menanggapi tuntutan terbaru. Sebelumnya, pejabat terkait menyatakan bahwa kebijakan kenaikan PBB sudah melalui kajian dan pembahasan di DPRD.
Namun, warga merasa kajian tersebut tidak melibatkan partisipasi publik secara memadai. Mereka berharap ada forum dialog terbuka antara Pemkot, DPRD, dan warga terdampak.
Langkah Selanjutnya
Paguyuban Pelangi Cirebon berencana melakukan sosialisasi ke berbagai kelurahan. Mereka ingin mengajak warga yang belum memahami detail kebijakan ini agar sadar dampaknya. Selain itu, mereka akan menggalang dukungan dari organisasi masyarakat dan tokoh daerah.
Hendrawan Rizal menegaskan bahwa gerakan ini akan terus berjalan sampai ada perubahan kebijakan. Menurutnya, perjuangan ini bukan hanya soal angka pajak, tetapi tentang keadilan dan keberpihakan pemerintah kepada rakyat.
Kesimpulan
Persoalan kenaikan PBB Kota Cirebon memperlihatkan jarak antara kebijakan fiskal pemerintah dan kemampuan ekonomi masyarakat. Warga mengakui bahwa pajak penting untuk pembangunan, tetapi mereka menolak kebijakan yang dianggap tidak proporsional.
Keputusan ada di tangan Wali Kota Cirebon. Apakah beliau akan menanggapi aspirasi warga atau mempertahankan kebijakan yang sudah berjalan, waktu yang akan menjawab.
BACA JUGA : Bendera Merah Putih Jumbo Sepanjang 1 Km Di Kuningan
BACA JUGA : Pemuda Simpan Obat Keras di Cirebon, 1.266 Butir Diamankan
JANGAN LEWATKAN!! : Pasang Iklan Gratis di CirebonShare.com Selama Agustus


















