CirebonShare.com – Cirebon, 13 Juli 2025 –
Krisis siswa baru menjadi kenyataan pahit bagi sejumlah SMK swasta di Cirebon tahun ini. Situasi yang mencemaskan itu muncul setelah kebijakan pemerintah provinsi Jawa Barat membuka pintu lebar-lebar bagi sekolah negeri untuk menampung lebih banyak siswa melalui sistem rombongan belajar (rombel) hingga 50 orang.
Akibatnya, banyak sekolah swasta yang sebelumnya masih bisa bertahan, kini hanya bisa pasrah menyaksikan jumlah pendaftar yang menurun drastis. Bahkan ada yang hanya memperoleh satu atau dua siswa baru saja. Kondisi ini memicu kekhawatiran akan masa depan pendidikan swasta, terutama di kalangan sekolah kecil dengan sumber daya terbatas.
Salah satu sekolah yang mengalami dampak paling parah adalah SMK Cipto yang berlokasi di Jalan Melati, Kesambi, Kota Cirebon. Sekolah ini hanya berhasil menjaring dua siswa baru selama proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2025.
“Kami hanya dapat dua siswa. Tahun lalu masih delapan. Sekarang makin turun. Sekolah swasta lain juga mengeluh hal serupa. Bukan cuma di Cirebon, tapi juga di kota-kota lain di Jawa Barat,”
— Ari Nurrahmat, Kepala SMK Cipto & Ketua Forum SMK Swasta Kota Cirebon
Kebijakan Rombel 50 Siswa Diduga Jadi Penyebab
Ari menegaskan, penurunan minat siswa masuk ke sekolah swasta tidak lepas dari kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yang menetapkan jumlah maksimal siswa per rombel menjadi 50. Kebijakan ini memberi ruang besar bagi sekolah negeri untuk menerima lebih banyak siswa. Dalam prakteknya, sekolah negeri berlomba-lomba menambah jumlah peserta didik.
“Faktor utama jelas kebijakan rombel 50 siswa. Sekolah negeri sekarang berebut siswa sebanyak mungkin. Kami tak kebagian,”
— Ari Nurrahmat
Penerapan gelombang kedua oleh sekolah negeri juga memicu fenomena baru: siswa yang semula sudah mendaftar ke sekolah swasta menarik kembali berkas mereka dan beralih ke negeri. Hal ini terjadi karena sekolah negeri ingin memaksimalkan kapasitas rombelnya sesuai kebijakan yang baru.
“Kami sempat dapat tiga siswa. Tapi satu cabut berkas. Jadi tinggal dua,”
— Ari Nurrahmat
Menabrak Regulasi Nasional
Yang membuat kebijakan ini semakin kontroversial, menurut Ari, adalah kenyataan bahwa penetapan rombel hingga 50 siswa bertentangan dengan peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) yang menetapkan batas maksimal 36 siswa per kelas.
“Ini jelas menabrak Permendikbud. Kenapa tidak dianalisis dan disosialisasikan dulu? Kami hanya ingin kebijakan yang adil,”
— Ari Nurrahmat
Selain itu, kebijakan ini diluncurkan tanpa dialog terlebih dahulu dengan pengelola sekolah swasta, tanpa studi dampak yang komprehensif terhadap keberlangsungan institusi pendidikan non-negeri.
Solusi: Arahkan PAPS ke Swasta
Ari mengusulkan agar pemerintah provinsi mulai mempertimbangkan untuk mengarahkan siswa dari kalangan Potensi Anak Putus Sekolah (PAPS) ke sekolah swasta. Pemerintah dapat memberikan subsidi, insentif, atau bantuan dana pendidikan agar siswa dari keluarga tidak mampu tetap bisa melanjutkan pendidikan tanpa harus tertolak di negeri.
“Kalau mau bantu PAPS, ya kasih ke sekolah swasta. Bantu biayanya. Daripada sekolah tutup, guru dirumahkan, dan pengangguran bertambah,”
— Ari Nurrahmat
Menurut Ari, langkah ini akan jauh lebih efektif dalam menjaga keberlangsungan lembaga pendidikan swasta dan menghindari ketimpangan daya tampung antar-sekolah.
SMK Veteran Turut Terpukul
Situasi serupa juga dialami oleh SMK Veteran Kota Cirebon. Kepala sekolahnya, Wahyu Hidayat, menyebut bahwa tahun ini mereka hanya mendapatkan 11 murid baru, padahal tahun sebelumnya masih bisa menjaring hingga 30 siswa.
“Kita hanya bisa bersyukur meskipun hasilnya jauh dari harapan. Ini jelas berdampak besar pada guru dan staf,”
— Wahyu Hidayat
Wahyu menilai kebijakan penambahan daya tampung di sekolah negeri sangat merugikan sekolah swasta kecil yang memang menyasar kalangan bawah. Ia menyebut sekolahnya memiliki kebijakan pembayaran ringan, bahkan bisa dicicil, namun tetap saja banyak siswa memilih sekolah negeri.
“Kalau lulusan SMP 5.000 dan negeri bisa tampung semua, habislah jatah sekolah swasta. Ini seperti menyedot rezeki kami,”
— Wahyu Hidayat
Beban Guru dan Ancaman PHK
Dampak serius dari krisis siswa baru ini bukan hanya pada operasional sekolah, tapi juga menyasar langsung ke nasib para guru dan staf. Sekolah swasta yang tak memperoleh cukup siswa tidak mampu menutupi biaya rutin, termasuk gaji pengajar.
“Kalau begini terus, sekolah bisa tutup. Guru tak digaji, siswa terlantar. Pemerintah harus segera turun tangan,”
— Ari Nurrahmat
Ancaman PHK massal terhadap guru swasta kini menjadi mimpi buruk yang nyata. Banyak sekolah harus memutar otak agar tetap bisa bertahan, namun tanpa siswa, tidak ada sumber pendapatan yang bisa diandalkan.
Dampak Domino Pendidikan
Krisis siswa baru di SMK swasta Cirebon tak hanya mengancam sekolah-sekolah kecil, tapi bisa berdampak pada sistem pendidikan secara keseluruhan. Jika terlalu banyak sekolah swasta gulung tikar, maka kapasitas negeri pun akan kembali kewalahan menampung semua siswa. Ini menciptakan siklus yang kontraproduktif terhadap upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.
“Kami tidak minta istimewa. Kami hanya ingin kebijakan yang adil,”
— Wahyu Hidayat
Sekolah swasta selama ini turut berkontribusi besar dalam mencerdaskan anak bangsa, terutama mereka yang berasal dari keluarga ekonomi lemah. Jika pemerintah tak segera turun tangan, maka dikhawatirkan akan muncul generasi yang terpinggirkan dari sistem pendidikan hanya karena kebijakan yang tak merata penerapannya.
Seruan Evaluasi Kebijakan
Kedua kepala sekolah, Ari dan Wahyu, berharap agar kebijakan rombel 50 siswa dievaluasi secara menyeluruh. Mereka meminta agar pemerintah membuka ruang dialog dan menyertakan suara dari sekolah swasta sebelum menerapkan kebijakan baru.
Sementara itu, sejumlah aktivis pendidikan di Cirebon juga mendesak adanya diskusi terbuka antara pemerintah daerah dan pengelola sekolah swasta agar solusi jangka panjang bisa dirumuskan bersama.
Harapan untuk Pemerataan dan Keberlanjutan
Krisis siswa baru di SMK swasta Cirebon menjadi peringatan keras bahwa kebijakan yang kurang inklusif bisa berimbas fatal. Pendidikan adalah hak semua warga negara, dan sekolah swasta adalah mitra penting pemerintah dalam menjalankan amanah tersebut.
“Syukur-syukur dari pemerintah bisa berbagi siswa demi menyelamatkan anak bangsa. Jangan sampai ada yang putus sekolah,”
— Wahyu Hidayat
Jika pemerintah mampu melihat persoalan ini secara menyeluruh dan bertindak cepat, maka sekolah swasta tetap bisa menjadi tulang punggung pendidikan, terutama di daerah-daerah yang akses pendidikan negerinya belum merata.


















