CirebonShare.com – Kuningan, 31 Juli 2025 – Kasus pemulung cabuli anak kembali mengguncang masyarakat Kabupaten Kuningan. Seorang pria berusia 51 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai pemulung dilaporkan telah melakukan pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur. Ironisnya, satu dari korban merupakan penyandang disabilitas tuna rungu, sehingga kasus ini menimbulkan keprihatinan mendalam dari berbagai pihak.
Pelaku, berinisial AA, kini telah ditangkap oleh pihak Kepolisian Resor Kuningan dan ditahan untuk menjalani proses hukum lebih lanjut. Insiden ini terjadi di wilayah Desa Lengkong, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan. Kasus ini tidak hanya mengundang amarah warga, tetapi juga menyoroti pentingnya pengawasan terhadap anak-anak serta perlindungan terhadap kelompok rentan seperti penyandang disabilitas.
Kronologi Singkat: Rayuan Jajan Berujung Petaka
Menurut informasi yang dihimpun CirebonShare.com, kasus pemulung cabuli anak ini terbongkar setelah orang tua salah satu korban mendapati kejanggalan pada perilaku anak mereka. Setelah digali lebih dalam, anak tersebut mengaku telah menjadi korban pelecehan oleh seorang pria yang sering terlihat memulung di sekitar wilayah tempat tinggal mereka.
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Kuningan, AKP Nova Bhayangkara, menjelaskan bahwa pelaku melakukan aksinya dengan cara merayu korban menggunakan iming-iming berupa jajanan.
“Tersangka ini mengiming-imingi para korban dengan jajanan. Total ada tiga anak yang menjadi korban, salah satunya merupakan penyandang disabilitas tuna rungu,” ungkap Kasat Reskrim.
Aksi tersebut terjadi di sebuah warung yang berlokasi di Desa Lengkong pada hari Selasa, tanggal 15 Juli 2025. Pelaku diketahui kerap mondar-mandir di lingkungan tersebut sehingga cukup dikenal oleh warga sekitar. Pelaku diduga memanfaatkan rasa percaya anak-anak terhadap orang dewasa dan kondisi lingkungan yang kurang pengawasan.
Profil Pelaku: Seorang Pria Berusia 51 Tahun
Pelaku berinisial AA, berusia 51 tahun, dikenal warga sebagai pemulung yang sering mengumpulkan barang-barang bekas di sekitar pemukiman warga. Warga sekitar tidak pernah menyangka bahwa pria tersebut menyimpan niat jahat terhadap anak-anak di lingkungannya.
AA tinggal tidak jauh dari lokasi kejadian. Menurut penelusuran, pelaku sempat beberapa kali mengajak korban ke rumahnya sendiri sebelum akhirnya melakukan aksi bejat tersebut. Tindakan ini menunjukkan bahwa pelaku memiliki motif yang terencana dan berulang.
Respons Orang Tua: Penelusuran Mandiri Sebelum Lapor Polisi
Setelah mengetahui apa yang dialami anaknya, orang tua korban tidak tinggal diam. Mereka melakukan penelusuran sendiri terhadap keberadaan dan identitas pelaku. Setelah yakin dengan informasi yang dikumpulkan, mereka segera melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwajib.
Tindakan cepat orang tua korban ini menjadi langkah penting dalam mengungkap kasus tersebut. Tanpa laporan dan keberanian anak untuk bercerita, kemungkinan besar kasus ini akan tetap tersembunyi.
Pihak kepolisian pun mengapresiasi keberanian keluarga korban yang berani melapor dan memberikan keterangan secara jelas, meskipun di tengah rasa takut dan trauma yang mendalam.
Dampak Psikologis: Trauma Mendalam bagi Korban
Dampak dari tindakan pelecehan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga meninggalkan trauma psikologis yang mendalam. Berdasarkan hasil pemeriksaan psikolog klinis, para korban menunjukkan tanda-tanda trauma seperti rasa takut, sulit tidur, dan penurunan kepercayaan terhadap orang dewasa.
“Walaupun tidak ada luka fisik berat, tetapi para korban mengalami tekanan psikologis. Salah satunya bahkan menunjukkan ketakutan ekstrem saat mendengar nama tersangka,” jelas petugas yang mendampingi korban.
Anak yang merupakan penyandang disabilitas juga mengalami dampak serupa, bahkan lebih kompleks. Dalam banyak kasus, anak dengan disabilitas seringkali lebih rentan karena keterbatasan komunikasi dan kemampuan menyampaikan peristiwa secara detail.
Langkah Kepolisian: Tindakan Cepat dan Proses Hukum Berjalan
Setelah laporan diterima, pihak Polres Kuningan segera bertindak. Pelaku sempat diamankan oleh warga sekitar, lalu diserahkan kepada pihak kepolisian. Berdasarkan bukti dan keterangan saksi, polisi langsung menetapkan AA sebagai tersangka dan menahannya di Mapolres Kuningan.
Kasat Reskrim AKP Nova Bhayangkara menegaskan bahwa tersangka dijerat dengan Pasal 76E juncto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara.
“Kami akan menangani kasus ini dengan serius dan sesuai prosedur. Tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, apalagi terhadap penyandang disabilitas,” tegas Kasat Reskrim.
Masyarakat Resah: Warga Minta Perlindungan Anak Ditingkatkan
Kasus ini membuat warga sekitar Desa Lengkong resah. Banyak warga yang merasa kecolongan karena pelaku adalah sosok yang sering berada di lingkungan mereka tanpa menimbulkan kecurigaan.
Tokoh masyarakat setempat menyerukan agar peran keluarga, sekolah, dan lingkungan diperkuat dalam melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan.
Warga juga berharap pihak kepolisian tidak hanya menindak pelaku, tetapi juga memberikan edukasi dan pembinaan kepada masyarakat mengenai tanda-tanda kekerasan seksual pada anak serta pentingnya ruang aman bagi anak-anak bermain.
Perlindungan Anak Disabilitas: Tantangan Ganda
Kasus ini menyoroti realitas bahwa anak penyandang disabilitas menghadapi risiko berlipat dalam konteks kekerasan seksual. Mereka lebih sulit melawan, kesulitan berkomunikasi, dan kerap dianggap “tidak mengerti”.
Aktivis perlindungan anak dan disabilitas di wilayah Kuningan menyampaikan bahwa kasus seperti ini harus dijadikan momentum untuk membangun sistem pendampingan yang lebih kuat, terutama dalam hal pelaporan dan rehabilitasi korban.
Lembaga sosial dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) diharapkan segera turun tangan memberikan bantuan psikologis dan perlindungan lanjutan bagi para korban.
Pendidikan Seksual dan Pencegahan: Peran Keluarga dan Sekolah
Pentingnya pendidikan seksual usia dini kembali menjadi sorotan. Banyak orang tua yang masih menganggap tabu untuk membicarakan hal-hal berkaitan dengan tubuh dan perlindungan diri kepada anak-anak. Padahal, pendidikan dasar mengenai bagian tubuh pribadi, batasan sentuhan, dan keberanian berkata “tidak” adalah fondasi penting dalam mencegah kekerasan seksual.
Sekolah juga diharapkan mengambil peran aktif dalam memberikan edukasi yang tepat dan mendukung terciptanya ruang aman di lingkungan pendidikan.
Ajakan untuk Waspada dan Peduli
CirebonShare.com mengajak seluruh pembaca untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap tanda-tanda kekerasan seksual pada anak di lingkungan terdekat. Jangan abaikan perubahan perilaku anak, apalagi jika mereka tiba-tiba takut, murung, atau enggan berinteraksi.
Jika menemukan kejanggalan, segera lakukan pendekatan dengan penuh empati dan berani mencari bantuan dari pihak yang berwenang.
Penutup: Harapan Keadilan dan Pemulihan Korban
Kasus pemulung cabuli anak di Kuningan menjadi pengingat pahit bahwa kejahatan terhadap anak bisa terjadi di mana saja, bahkan oleh orang-orang yang tampaknya tak mencurigakan.
Namun, keberanian korban untuk bercerita, ketegasan keluarga, dan kesigapan pihak kepolisian menjadi harapan bahwa keadilan bisa ditegakkan dan korban bisa dipulihkan.
CirebonShare.com akan terus mengawal perkembangan kasus ini, memastikan suara korban terdengar, dan mendorong semua pihak untuk menjadikan perlindungan anak sebagai prioritas bersama.
BACA JUGA : Pelecehan Anak di Kuningan, 4 Jadi Korban
BACA JUGA : Kuwu Cabuli Gadis di Kuningan, Modus Anak Angkat Terbongkar
KISAH INSPIRATIF : Produsen Layang-Layang Cirebon Raup Ribuan Pesanan


















