CirebonShare.com – CIREBON, 7 Juli 2025 – Penutupan tambang di Cirebon menjadi isu krusial yang berdampak langsung pada keuangan daerah. Pemerintah Kabupaten Cirebon mencatat penurunan PAD sebesar Rp10 miliar akibat penutupan tambang yang disebabkan masalah perizinan dan lemahnya pengawasan. Penutupan tambang ini terutama memukul sektor pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB) yang selama ini menjadi sumber pendapatan. Jika tidak segera dibenahi, penutupan tambang berisiko mengganggu pembangunan dan memperburuk kondisi ekonomi lokal.
Penyebab Anjloknya PAD Cirebon
Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Cirebon, Aditiar Hafiidz Anwar, SP, mengungkapkan bahwa potensi PAD dari sektor tambang sebenarnya sangat besar. Namun, dengan ditutupnya tambang-tambang yang beroperasi, penerimaan daerah pun otomatis menurun tajam.
“Potensi PAD dari sektor pajak MBLB sebenarnya cukup besar. Jadi perizinannya harus dibenahi, pelaku usaha juga harus taat aturan,” tegas Aditiar.
Ia menyoroti bahwa kebijakan penutupan tambang ini muncul sebagai reaksi terhadap minimnya kepatuhan terhadap perizinan, serta sejumlah insiden kecelakaan kerja yang terjadi akibat lemahnya pengawasan di lapangan. Sayangnya, dampak dari penutupan ini langsung terasa dalam pendapatan daerah.
Menurut Aditiar, para pelaku usaha kesulitan dalam mengurus perizinan, baik untuk perpanjangan maupun pengajuan izin baru. Ia menyebut sistem birokrasi yang terlalu berbelit membuat banyak investor dan pengusaha tambang memilih berhenti beroperasi.
“Penurunan PAD salah satunya berasal dari sektor MBLB yang turun Rp10 miliar. Padahal potensinya ada, tapi izinnya sulit. Untuk perpanjangan saja susah, apalagi untuk pengajuan izin tambang baru,” ujarnya.
Sistem Pelaporan dan Perizinan Jadi Sorotan
Kendala lain yang disorot adalah sistem pelaporan yang belum berjalan secara optimal. Pelaku usaha sering kali sudah melaporkan kegiatannya, tetapi persetujuan dari Dinas ESDM terlambat dikeluarkan, sehingga menyulitkan proses produksi.
“Kadang pelaku usaha sudah melapor, tapi approval dari ESDM-nya lambat. Ini membuat pelaku usaha kesulitan,” jelas Aditiar.
Situasi ini memunculkan efek domino, di mana keterlambatan dalam persetujuan menghambat pasokan bahan baku ke proyek-proyek infrastruktur. Dampaknya, harga material melonjak di pasaran, dan pembangunan daerah terganggu.
Harga Material Naik Akibat Kelangkaan Bahan Tambang
Komisi II DPRD Kabupaten Cirebon menyampaikan bahwa kelangkaan bahan baku dari tambang menyebabkan harga-harga material seperti batu, pasir, dan tanah urug naik drastis. Hal ini menjadi perhatian serius karena berpotensi menghambat proyek-proyek strategis daerah, termasuk pembangunan jalan, gedung sekolah, hingga sarana irigasi.
“Kalau barang sulit dicari karena bahan bakunya ditutup, pasti harga naik. Ini hukum ekonomi yang tidak bisa dihindari,” lanjut Aditiar.
Oleh karena itu, DPRD Kabupaten Cirebon mendesak pemerintah dan instansi terkait untuk memperbaiki sistem perizinan agar pengusaha tidak lagi menghadapi kesulitan dalam mengakses dokumen legalitas.
Harapan DPRD: Perizinan Harus Dibenahi, Tapi Tetap Taat Aturan
Dalam jangka panjang, Komisi II DPRD mendorong agar semua proses perizinan tambang bisa dilakukan secara efisien, transparan, dan tanpa pungli. Namun, Aditiar menegaskan bahwa semua itu tetap harus disertai kepatuhan terhadap aturan teknis dan aspek lingkungan.
“Ke depan, kami dorong supaya proses izin galian tidak lagi jadi hambatan, asalkan pelaku usaha juga taat aturan,” tandasnya.
Dengan penataan ulang regulasi dan perizinan, diharapkan kegiatan tambang kembali berjalan secara legal dan memberikan kontribusi positif bagi PAD serta perekonomian masyarakat sekitar.
Langkah Tegas Pemerintah Kabupaten Cirebon
Wakil Bupati Cirebon, Agus Kurniawan Budiman atau yang akrab disapa Jigus, menegaskan bahwa tambang-tambang yang memiliki izin resmi tetap diizinkan untuk beroperasi. Sementara itu, tambang tanpa izin akan ditindak tegas sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
“Ini bagian dari upaya pencegahan agar insiden seperti di Gunung Kuda tidak terulang,” ujar Jigus.
Sebagai informasi, insiden longsor di tambang Gunung Kuda beberapa waktu lalu menelan korban jiwa dan menyita perhatian publik. Peristiwa ini memunculkan kritik tajam terhadap lemahnya pengawasan terhadap aktivitas pertambangan ilegal di Kabupaten Cirebon.
Salah satu lokasi yang kini mendapat pengawasan ketat adalah Blok Curug Dengkak, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang. Tambang yang dikelola oleh CV Bukit Aden ini masih ditelusuri status legalitas dan dokumen perizinannya.
“Karena izin tambang ini dikeluarkan oleh provinsi dan pusat, kami di daerah hanya bisa mendorong percepatan koordinasi. Proses hukumnya akan ditangani pihak berwenang, baik Dinas ESDM Provinsi maupun Kementerian ESDM,” terang Jigus.
Instruksi Gubernur Jawa Barat: Hentikan Aktivitas Tambang Ilegal
Pemerintah Kabupaten Cirebon juga merespons serius instruksi dari Gubernur Jawa Barat yang meminta penghentian sementara terhadap aktivitas pemanfaatan lahan Perhutani untuk tambang yang belum memiliki izin lengkap.
Langkah ini dilakukan untuk mencegah insiden serupa dan memberikan waktu bagi pemerintah dalam melakukan audit serta evaluasi menyeluruh terhadap seluruh kegiatan tambang di wilayah tersebut.
Para Pengusaha Tambang Bantah Disebut Ilegal
Di sisi lain, para pengelola tambang di sejumlah lokasi mengklaim bahwa mereka bukanlah pelaku usaha ilegal. CV Bukit Aden di Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, dan CV Bakti Agung Jaya di Desa Patapan, Kecamatan Beber, mengaku telah melakukan semua prosedur sesuai ketentuan.
Sementara itu, satu lagi perusahaan tambang yang mendapat sorotan adalah CV An Nakhl, yang mengelola tambang di Gunung Windu, Desa Cupang, Kecamatan Gempol. Mereka menyatakan bahwa proses pengurusan izin sudah dilakukan, namun masih menunggu persetujuan dari pihak terkait.
Analisis: Dampak Ekonomi dan Sosial Penutupan Tambang
Penutupan tambang tidak hanya mempengaruhi PAD dan harga material bangunan, tetapi juga berdampak langsung pada tenaga kerja lokal. Ratusan pekerja yang bergantung pada sektor ini kehilangan pekerjaan dalam waktu singkat.
Selain itu, sektor-sektor terkait seperti angkutan material, industri pengecoran, hingga usaha kecil menengah juga terdampak. Efek ini menjalar ke perekonomian desa-desa sekitar tambang.
Hal ini menunjukkan bahwa regulasi yang kaku tanpa solusi jangka pendek dapat memunculkan krisis ekonomi mikro di tingkat bawah. Pemerintah daerah dituntut untuk menyeimbangkan antara penegakan hukum dan perlindungan ekonomi masyarakat.
Solusi yang Didorong Pemerintah dan DPRD
- Penyederhanaan Proses Perizinan
Proses perizinan perlu dibuat lebih cepat dan transparan tanpa mengurangi aspek pengawasan. - Digitalisasi Sistem Pelaporan
Pengusaha tambang harus bisa mengakses dan melaporkan kegiatan secara online untuk mempercepat proses approval dari ESDM. - Pengawasan Lapangan Lebih Ketat
Pemerintah daerah harus memperkuat tim pengawasan di lapangan untuk mencegah aktivitas ilegal. - Sosialisasi Aturan yang Jelas
Sosialisasi menyeluruh harus dilakukan agar pelaku usaha memahami semua persyaratan hukum dan teknis dalam menjalankan aktivitas tambang. - Skema Insentif bagi Tambang Legal
Pemerintah bisa memberikan kemudahan atau insentif fiskal bagi perusahaan yang taat aturan dan berkontribusi besar terhadap PAD.
Kesimpulan
Kasus penutupan tambang di Kabupaten Cirebon menjadi refleksi dari perlunya tata kelola pertambangan yang lebih baik. Potensi besar dari sektor tambang harus dikelola secara bijak dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, kepastian hukum, dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah daerah bersama DPRD, pelaku usaha, dan masyarakat harus bahu-membahu menciptakan ekosistem pertambangan yang sehat, produktif, dan berkelanjutan.


















