CirebonShare.com – Kota Cirebon, 7 Juli 2025 – Para sopir angkutan kota (angkot) di Kota Cirebon semakin merasakan tekanan ekonomi yang berat. Tak hanya karena semakin maraknya transportasi berbasis aplikasi, mereka juga menghadapi masalah yang cukup klasik namun tak kunjung terselesaikan: penumpang tidak membayar ongkos sesuai tarif resmi.
Berdasarkan peraturan Pemerintah Kota Cirebon, tarif resmi angkot adalah Rp6.000 untuk penumpang umum (dewasa) dan Rp4.000 untuk pelajar atau mahasiswa. Namun, realitas di lapangan tidak seindah di atas kertas.
Banyak penumpang masih membayar ongkos jauh di bawah ketentuan, bahkan ada yang memberikan uang seadanya tanpa memperhatikan golongan tarif. Kondisi ini membuat para sopir angkot terjebak dalam situasi sulit. Pendapatan harian mereka tidak hanya tidak menentu, tapi juga semakin menyusut.
Sopir Angkot Butuh Kepastian Tarif
Salah satu sopir angkot trayek D2, Asep (45), menyampaikan bahwa kondisi ini membuat mereka berada dalam tekanan berat. Ia mengaku kerap menerima pembayaran yang tidak sesuai dari penumpang. Bahkan, dalam satu hari, bisa lebih dari 50% penumpangnya tidak membayar sesuai tarif.
“Kadang ada yang kasih Rp3.000 padahal sudah dewasa, ada juga yang nggak nanya tarif dulu, langsung kasih uang. Padahal jelas-jelas aturannya sudah ada. Tapi mereka kan nggak tahu karena memang nggak ada petunjuk di angkot,” kata Asep saat ditemui di kawasan Jalan Perjuangan.
Menurut Asep, hal ini terjadi karena minimnya sosialisasi tarif resmi kepada masyarakat. Ia berharap Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Cirebon dan Dinas Perhubungan bisa memberikan solusi konkret.
“Saya sudah lama berharap bisa dapat stiker tarif resmi untuk ditempel di pintu atau kaca angkot. Biar penumpang tahu dan nggak asal bayar. Kalau sudah tahu, kan mereka juga lebih paham,” lanjutnya.
Penghasilan Tak Menentu, Beban Hidup Bertambah
Di tengah situasi ekonomi yang makin sulit, Asep dan sopir angkot lain merasa pendapatan harian mereka sangat jauh dari kata cukup. Jika hari sedang sepi dan banyak penumpang tidak membayar sesuai tarif, mereka hanya membawa pulang Rp50.000 sampai Rp70.000 per hari, setelah dipotong bensin dan setoran kendaraan.
“Saya punya anak tiga, istri saya di rumah jualan kecil-kecilan. Tapi ya kalau penghasilan cuma segitu, apa cukup? Apalagi harga kebutuhan pokok naik terus,” keluhnya.
Ia menyebut bahwa sebagian besar sopir angkot saat ini beroperasi bukan untuk mencari untung, tetapi semata-mata demi bisa bertahan hidup.
“Bisa bawa pulang uang untuk beli beras aja udah bersyukur. Tapi kalau penumpang terus-terusan bayar seenaknya, lama-lama kami bisa nggak kuat juga,” tambahnya.
Transportasi Online Tambah Beban Baru
Persaingan dengan angkutan berbasis aplikasi juga menjadi tantangan berat bagi sopir angkot. Masyarakat kini lebih memilih transportasi online karena dianggap lebih praktis, cepat, dan nyaman.
“Sebelum ada ojek online, kami masih bisa dapat banyak penumpang. Sekarang, udah susah. Banyak yang lebih milih ojol walaupun tarifnya lebih mahal. Mereka bilang lebih cepat dan bisa dijemput,” terang Asep.
Persaingan ini membuat sopir angkot semakin terjepit. Mereka harus bersaing tanpa dukungan sistem yang memadai, sementara transportasi online terus berkembang dengan dukungan teknologi dan promosi masif.
“Kami ini nggak punya aplikasi, nggak bisa promosi. Mau bertahan aja sudah susah. Tapi kalau pemerintah bisa bantu dengan sistem yang lebih baik, mungkin kami masih bisa bersaing,” tambahnya.
Pelanggaran Trayek Jadi Masalah Baru
Masalah lain yang tak kalah serius adalah pelanggaran trayek. Banyak sopir angkot yang memilih rute sendiri demi mendapatkan penumpang lebih banyak, dengan harapan bisa menutup biaya operasional.
“Harusnya trayek saya lewat Jalan Pesisir. Tapi saya lihat banyak yang belok ke Jalan Siliwangi atau Jalan Kebumen, padahal itu bukan jalurnya. Mereka cari jalan ramai biar dapet penumpang, tapi itu salah,” ujar Asep.
Asep mengakui bahwa kondisi ini menimbulkan ketidaknyamanan bagi penumpang dan sesama sopir angkot. Jalur yang tidak sesuai trayek membuat masyarakat bingung dan membuat sistem angkutan kota menjadi tidak tertib.
“Kalau semua sopir nurut sama trayek, masyarakat juga bisa tahu jalur pasti angkot. Tapi kalau angkot seenaknya, ya penumpang bingung dan akhirnya malah naik ojol,” jelasnya.
Dishub Kota Cirebon Diminta Turun Tangan
Para sopir angkot berharap agar Dinas Perhubungan Kota Cirebon lebih aktif dalam menertibkan pelanggaran trayek. Penertiban ini penting agar sistem transportasi berjalan sesuai rencana dan bisa lebih dipercaya masyarakat.
“Saya harap Dishub bisa razia angkot yang melanggar. Supaya semuanya jalan di trayeknya sendiri. Kalau satu dua orang curang, yang rugi semuanya,” ungkap Asep.
Menurutnya, jika trayek tertib dan tarif disosialisasikan dengan baik, maka sistem angkutan kota bisa kembali dipercaya dan digunakan masyarakat.
“Kami nggak minta banyak. Cuma ingin sistemnya tertib dan penghasilan kami layak. Kami ini juga bekerja untuk hidup, bukan untuk cari kaya,” tambahnya.
Solusi: Edukasi dan Regulasi
Pengamat transportasi dari Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) Cirebon, Dr. Rahmat Wicaksono, menilai bahwa masalah tarif dan trayek harus diselesaikan secara terstruktur.
“Masalah utama saat ini adalah lemahnya edukasi dan pengawasan. Pemerintah harus aktif mengedukasi masyarakat soal tarif resmi dan menindak angkot yang tidak sesuai trayek,” ujarnya.
Rahmat juga menyarankan agar sistem angkot di Cirebon mulai mengarah ke digitalisasi.
“Angkot di kota-kota besar sudah mulai menggunakan sistem non-tunai, ada aplikasi pelacak rute, bahkan sistem ‘angkot pintar’. Cirebon bisa mulai ke arah sana,” katanya.
Namun, Rahmat juga mengingatkan bahwa perubahan semacam ini memerlukan waktu, dana, dan dukungan semua pihak, baik sopir, pemerintah, maupun masyarakat.
Digitalisasi Jadi Masa Depan Angkot Cirebon
Pemerintah Kota Cirebon, melalui Dinas Perhubungan, diharapkan bisa segera merancang sistem transportasi publik berbasis teknologi. Hal ini bisa dimulai dengan hal-hal sederhana seperti:
- Pemasangan stiker tarif resmi di setiap angkot.
- Kampanye sosialisasi tarif melalui media sosial, terminal, dan sekolah.
- Pengembangan aplikasi rute angkot untuk membantu penumpang.
- Subsidi bahan bakar atau insentif bagi sopir yang taat trayek.
- Kolaborasi dengan startup lokal untuk membuat sistem pembayaran non-tunai di angkot.
Dengan langkah-langkah ini, sopir angkot akan merasa lebih dihargai dan masyarakat pun lebih percaya menggunakan transportasi umum.
Harapan dari Jalanan Kota Cirebon
Cerita Asep adalah potret nyata perjuangan para sopir angkot di Kota Cirebon yang kini hidup dalam ketidakpastian. Mereka berharap agar sistem transportasi kota ini segera dibenahi, agar profesi mereka tidak punah ditelan zaman.
Di tengah derasnya arus modernisasi, angkot seharusnya tidak dilupakan. Sebaliknya, perlu diberikan ruang untuk berkembang agar tetap relevan dan menjadi bagian dari solusi mobilitas kota.
“Saya cuma mau kerja yang halal, yang cukup buat keluarga. Kalau pemerintah bisa bantu, kami juga bisa lebih semangat,” tutup Asep.


















