CirebonShare.com – CIREBON, 20 Juli 2025 – Truk-truk pengangkut sampah masih terlihat hilir mudik di TPA Kopi Luhur, Kelurahan Argasunya, Kota Cirebon, pada Jumat siang (18 Juli 2025). Aroma menyengat dari tumpukan sampah menyelimuti area sekitar. Meski telah dijatuhi sanksi oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sejak Maret 2025, Pemerintah Kota Cirebon belum juga menghentikan praktik open dumping di lokasi tersebut.
Padahal, sistem tersebut terbukti mencemari lingkungan. Air tanah menjadi keruh, udara tercemar, dan warga sekitar harus menanggung dampaknya setiap hari. Bahkan, peringatan tegas sudah dipasang oleh KLH. Plang berwarna merah dengan garis kuning melintang tepat di dekat gerbang utama TPA, sebagai peringatan agar tidak sembarangan melintasi zona pengawasan lingkungan.
KLH Beri Tenggat Waktu, Tapi Belum Ada Perubahan Nyata
KLH memberikan batas waktu enam bulan sejak sanksi dijatuhkan, tepatnya pada 7 Maret 2025. Artinya, waktu tersisa semakin sempit, kurang dari dua bulan lagi. Namun hingga pertengahan Juli, Pemkot Cirebon belum memperlihatkan langkah konkret dalam pengelolaan sampah di TPA Kopi Luhur.
BACA JUGA : Solusi Sampah Kabupaten Cirebon Bersama PT Global Energy
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq secara langsung meninjau lokasi pada 13 Juni lalu. Ia menegaskan bahwa perubahan sistem harus segera dilakukan. Dalam kunjungannya, Hanif menyampaikan bahwa praktik open dumping melanggar aturan dan dapat berujung pada sanksi pidana jika tidak dihentikan.
“Pemkot wajib melakukan perubahan dari open dumping ke sanitary landfill. Jika tidak, ada risiko hukuman administrasi dan pidana,” tegas Hanif.
Menurutnya, tim pengawasan dari KLH dan pemerintah provinsi akan terus memantau pelaksanaan sanksi hingga tenggat waktu habis. Pengawasan ini bukan formalitas, melainkan upaya nyata agar pengelolaan sampah di Cirebon bertransformasi secara berkelanjutan.
Evaluasi KLH: Tidak Ada Tindak Lanjut Signifikan
Direktur Pengaduan dan Pengawasan Penegakan Hukum KLH, Ardi, juga mengungkapkan kekecewaannya. Ketika melakukan inspeksi lanjutan ke TPA Kopi Luhur, ia menyimpulkan bahwa Pemkot belum menindaklanjuti rekomendasi yang tercantum dalam surat sanksi.
“Kami sudah menekankan penghentian open dumping. Tapi realitanya, praktik ini masih berlangsung. Bahkan terlihat jelas di lapangan,” ujarnya kepada wartawan.
Lebih lanjut, Ardi menjelaskan bahwa jika dalam 180 hari rekomendasi tidak dijalankan, maka Pemkot bisa dijerat pidana sesuai Pasal 114 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Masyarakat Turun ke Jalan, Suarakan Tuntutan
Kondisi lingkungan yang terus memburuk akhirnya memicu protes warga. Kamis (17 Juli 2025), sekelompok mahasiswa dari Universitas 17 Agustus (Untag) Cirebon bergabung dengan warga dalam aliansi Gugatan Rakyat Cirebon (GRC). Mereka menggelar aksi di pusat kota untuk mendesak Pemkot segera bertindak.
Aksi dimulai di perempatan Kejaksan. Massa membawa spanduk, menyuarakan keresahan, dan menyampaikan orasi secara bergantian. Setelah itu, mereka bergerak ke arah Balai Kota Cirebon. Namun rombongan tidak dapat masuk ke area kantor karena sedang ada agenda resmi.
Di Alun-Alun Kejaksan, massa diterima oleh Kepala Bidang Penataan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon, Andi Riskiyanto SH. Dalam kesempatan tersebut, para demonstran menyerahkan sampel air tercemar sebagai bukti pencemaran lingkungan di Argasunya.
Tiga Tuntutan Utama Disampaikan ke Pemkot
Koordinator aksi Bayu Samudra dan perwakilan warga M. Romadoni membacakan tuntutan secara terbuka. Mereka meminta Pemkot untuk tidak sekadar membuat janji, tetapi menunjukkan langkah nyata.
Tiga tuntutan utama itu adalah:
- Segera hentikan praktik open dumping dan hadirkan solusi nyata di TPA Kopi Luhur.
- Evaluasi total kinerja DLH Kota Cirebon karena dianggap gagal menjalankan fungsi pengawasan.
- Tunda mutasi, rotasi, atau promosi terhadap pejabat DLH sebelum masalah tuntas diselesaikan.
“Seorang warga Argasunya mengungkapkan bahwa air di wilayahnya kini tidak layak konsumsi karena berwarna kuning dan berbau limbah.“
Ia juga menjelaskan bahwa saat angin bertiup, bau busuk dari TPA menyebar ke permukiman, membuat warga kesulitan beraktivitas. Keadaan ini terus berlangsung tanpa adanya perhatian serius dari pemerintah kota.
BACA JUGA : Penataan Kawasan Trusmi Prioritas, Budaya Tetap Terjaga
DLH Akui Infrastruktur Usang dan Bocor
Menanggapi kritik tersebut, Andi Riskiyanto dari DLH mengakui bahwa beberapa titik instalasi pengolahan limbah mengalami kebocoran. Usia infrastruktur yang sudah belasan tahun menyebabkan kerusakan di beberapa bagian.
“Saat hujan deras, air limbah meluap dan menekan dinding penahan yang retak. Dari situ limbah merembes ke lingkungan warga,” kata Andi.
Sebagai bentuk tanggung jawab, DLH telah melakukan beberapa tindakan darurat. Tim teknis sudah membendung titik-titik bocor dan mulai membangun benteng penahan baru. Selain itu, sumur resapan juga mulai ditambah di beberapa titik rawan.
“Kami akan mulai pembangunan benteng permanen minggu ini, sambil terus meninjau titik rawan,” jelasnya.
Harapan Warga: Tidak Ada Lagi Janji, Tapi Bukti
Warga Argasunya dan mahasiswa berharap pemerintah tidak lagi memberi alasan. Mereka ingin bukti nyata di lapangan. Selama bertahun-tahun, warga menanggung risiko pencemaran yang merusak kualitas hidup mereka.
Sebagai kota yang berkembang, Cirebon membutuhkan sistem pengelolaan sampah yang lebih modern. Penggunaan sanitary landfill seharusnya sudah menjadi standar minimal. Kota ini tak bisa terus bergantung pada cara lama yang terbukti merusak lingkungan.
Penutup
TPA Kopi Luhur telah menjadi simbol persoalan lingkungan yang tak kunjung selesai. Sanksi dari KLH, suara mahasiswa, dan keluhan warga seharusnya menjadi alarm keras bagi Pemkot. Sudah saatnya bertindak. Bukan lagi janji, tapi langkah konkret menuju pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
JANGAN LEWATKAN !! : Kuliner Viral Cirebon Ramaikan Grage Mall


















