CirebonShare.com – INDRAMAYU, 9 Juli 2025 – Sengketa tanah warisan menyeret seorang anak berusia 12 tahun di Desa Karangsong, Indramayu, ke ranah hukum. Bocah berinisial ZI, pelajar kelas 5 SD, digugat oleh kakek tiri dan nenek kandungnya sendiri terkait kepemilikan rumah dan lahan peninggalan sang ayah, Suparto, yang meninggal setahun lalu.
Kasus ini mengejutkan warga. Tidak hanya karena adanya gugatan antar keluarga, tetapi juga karena anak di bawah umur menjadi salah satu pihak tergugat dalam perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Indramayu.
Awal Konflik Sengketa Tanah Warisan
ZI tinggal bersama ibunya, Rastiah (37), dan kakaknya, Heryatno (20), di rumah yang dibangun di atas lahan warisan mendiang ayahnya. Mereka telah tinggal di sana selama lebih dari 15 tahun. Tanah itu menjadi tempat tumbuh besar ZI dan kakaknya.
Namun, setelah ayah mereka wafat pada 2024, keluarga dari pihak ayah—yakni kakek tiri dan nenek kandung—menggugat mereka. Objek gugatan adalah rumah dan tanah yang telah mereka tempati sejak kecil. Mereka dituduh menempati lahan secara tidak sah.
“Kami sudah tinggal di sini sejak saya berusia lima tahun. Sekarang saya 20. Adik saya pun lahir dan besar di sini,” kata Heryatno, kakak ZI.
Ia menambahkan, tidak ada konflik sebelum gugatan diajukan. Namun, setelah ayah meninggal, situasi berubah drastis.
Perkara Masuk Pengadilan
Gugatan perdata dengan nomor perkara 34/Pdt.G/2025/PN Idm kini tengah diproses di Pengadilan Negeri Indramayu. Sidang perdana telah dilaksanakan pada 2 Juli 2025. ZI tercatat sebagai tergugat ketiga dalam perkara sengketa tanah warisan tersebut.
Juru Bicara PN Indramayu, Adrian Anju Purba, membenarkan bahwa ZI masuk dalam daftar tergugat.
“Benar, perkara ini termasuk gugatan perbuatan melawan hukum, dan saat ini sedang diproses,” ujarnya.
Menurutnya, meskipun ZI masih di bawah umur, ia tetap bisa menjadi tergugat karena terkait langsung dengan objek perkara yang disengketakan.
Kondisi Psikologis Anak dalam Sengketa Hukum
Keterlibatan anak dalam perkara sengketa tanah warisan menimbulkan keprihatinan dari berbagai kalangan, terutama pemerhati anak dan psikolog. Banyak pihak menilai bahwa anak tidak seharusnya dibebani konflik keluarga, apalagi sampai duduk sebagai tergugat di pengadilan.
Psikolog anak, dr. Ayu Rahmadani, menyebut bahwa situasi ini sangat berbahaya bagi perkembangan emosional ZI.
“Seorang anak usia 12 tahun belum siap menghadapi tekanan hukum dan konflik keluarga. Ini bisa menimbulkan trauma jangka panjang,” tegasnya.
Ia menyarankan pendekatan mediasi dan dialog keluarga dibandingkan proses hukum terbuka. Anak harus diberi ruang aman untuk tumbuh dan belajar, bukan menjadi korban dari konflik warisan.
Kekecewaan Keluarga Tergugat
Heryatno mengaku sangat kecewa. Ia tidak menyangka bahwa kakek tiri dan nenek kandungnya tega menggugat cucu sendiri hanya karena persoalan tanah.
“Ini rumah peninggalan ayah dan ibu saya. Kami tinggal di sini sejak kecil. Tidak pernah kami mengganggu siapa pun,” katanya.
Menurutnya, keluarga masih membuka pintu damai. Ia berharap ada mediasi agar sengketa ini tidak berkepanjangan dan menyakiti ZI.
“Saya tidak ingin adik saya terus memikirkan masalah ini. Harusnya orang tua bisa memberikan contoh baik,” tambahnya.
Reaksi Publik dan Viral di Media Sosial
Kasus sengketa tanah warisan ini menyita perhatian publik. Setelah diberitakan media lokal, kabar ini menyebar luas di media sosial. Warganet menanggapi dengan simpati dan kecaman terhadap pihak penggugat.
Komentar seperti:
- “Cucu digugat kakek dan nenek karena tanah? Di mana hati nurani?”
- “Sengketa keluarga tidak seharusnya menyeret anak ke pengadilan.”
- “Miris. Anak kecil jadi korban perebutan harta.”
Berbagai komunitas sosial pun mulai menunjukkan dukungan moral dan meminta agar perlindungan hukum terhadap anak diprioritaskan.
Mediasi Keluarga Diusulkan
Tokoh masyarakat Karangsong, Bapak R. Iskandar, menyarankan agar perkara ini segera dimediasi.
“Kalau cucu sampai digugat, berarti nilai kekeluargaan kita sudah hilang. Mari duduk bersama dan cari jalan damai,” ucapnya.
Ia menambahkan, pemerintah desa dan tokoh adat perlu hadir sebagai penengah agar kasus tidak berlarut-larut dan tidak menimbulkan luka sosial yang lebih dalam.
Analisis Sengketa Tanah Warisan di Indonesia
Menurut data Mahkamah Agung, perkara sengketa tanah warisan adalah salah satu perkara perdata yang paling sering masuk ke pengadilan di Indonesia. Biasanya terjadi karena:
- Tidak adanya surat wasiat
- Kepemilikan tanah tidak didaftarkan
- Warisan dibagi tanpa musyawarah
Ketika ahli waris tidak sepakat, jalan hukum sering diambil, bahkan jika harus menggugat keluarga sendiri. Inilah yang terjadi pada kasus ZI.
Pakar hukum keluarga, Dedi Mahendra, menyebut bahwa ini adalah kegagalan sistem komunikasi dan edukasi waris di tengah masyarakat.
“Banyak keluarga tidak memahami hukum waris. Ketika orang tua meninggal, mereka bingung membagi. Akhirnya saling tuntut,” ujarnya.
Ia mendorong agar pemerintah memperbanyak edukasi hukum waris melalui desa dan RT agar kasus seperti ini bisa dicegah sejak awal.
Peran Pemerintah dan Lembaga Perlindungan Anak
Pemerintah daerah, Dinas Sosial, dan Lembaga Perlindungan Anak memiliki peran penting dalam mengawal perkara seperti ini. Anak harus dijaga dari segala bentuk tekanan psikologis dan diberi pendampingan selama proses hukum.
Saat ini, belum ada laporan resmi mengenai keterlibatan Dinas Perlindungan Anak di kasus ini. Namun, masyarakat berharap mereka segera turun tangan.
Penutup: Warisan Tak Harus Memutuskan Hubungan
Sengketa tanah warisan adalah hal yang bisa terjadi dalam keluarga manapun. Namun, konflik ini seharusnya diselesaikan secara damai. Harta bisa dibagi, tapi luka batin anak bisa membekas selamanya.
Kasus ZI menjadi pengingat bahwa warisan bukan sekadar dokumen dan tanah. Warisan juga mencakup nilai kasih sayang, tanggung jawab, dan keteladanan. Jangan sampai karena harta, masa depan anak dikorbankan.
Semoga kasus ini dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan yang lebih manusiawi, dan menjadi pelajaran bagi semua keluarga di Indonesia.

















